Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Uncategorized

Bali yang Terendam ke Hati yang Tergetar ; Refleksi Ekologis dan Sanitasi yang terabaikan

161
×

Bali yang Terendam ke Hati yang Tergetar ; Refleksi Ekologis dan Sanitasi yang terabaikan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Oleh : Arif Sumantri*)

Banjir yang melanda Bali bukanlah sekadar fenomena hidrologis, melainkan cermin yang memantulkan rapuhnya relasi manusia dengan alam. Genangan air yang menutup jalan dan merendam pemukiman menjadi tanda betapa ruang tangkapan air menyusut, sanitasi kerap terabaikan, dan kesadaran ekologis masih terfragmentasi. Refleksi ekologis ini menyingkap kenyataan bahwa pembangunan yang abai pada keseimbangan lingkungan hanya melahirkan risiko kesehatan, ketimpangan sosial, dan degradasi budaya. Dalam konteks ini, Bali menghadirkan paradoks: di satu sisi menjelma ikon pariwisata dunia, namun di sisi lain bergulat dengan problem sampah plastik, tata kelola air yang timpang, serta lemahnya kesadaran kolektif. Dengan menengok kearifan lokal Tri Hita Karana, kita menemukan tawaran jalan keluar: harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Maka, banjir Bali bukan sekadar bencana, melainkan pesan lirih dari alam yang mengetuk hati, agar pembangunan kembali diselaraskan dengan keseimbangan ekologis dan keberlanjutan hidup.

Example 300x600

Bali, pulau yang kerap digambarkan sebagai taman surgawi, kini perlahan memperlihatkan wajah lain: tanah yang basah oleh banjir, sungai yang mendesah oleh sampah, dan masyarakat yang terpaksa menahan resah. Di balik gemerlap pariwisata yang menghadirkan pesona matahari terbenam, tersimpan kisah tentang bumi yang menanggung beban, tentang alam yang meminta ruang bernafas.

Data BNPB (2023) mencatat, dalam kurun sepuluh tahun terakhir, Bali mengalami lebih dari 150 peristiwa banjir, dengan tren kenaikan 6–8% per tahun. Sebuah angka yang tidak lagi sekadar statistik, melainkan deretan kisah keluarga yang kehilangan rumah, anak-anak yang tidak dapat bersekolah karena jalan terputus, serta petani yang hasil panennya terendam lumpur. Dinas Lingkungan Hidup Bali (2022) menambahkan, pulau ini menghasilkan 4.281 ton sampah per hari, namun hanya sekitar 52% yang dapat terkelola dengan baik. Selebihnya, menyusup ke saluran air, menutup wajah sungai, hingga akhirnya menyumbat aliran kehidupan.

Kita perlu bertanya dengan hati yang bening: bagaimana mungkin sebuah pulau yang dijunjung sebagai simbol harmoni, justru kini berulang kali dipeluk banjir? Jawabannya ada pada lingkar sebab-akibat yang telah lama kita abaikan. Alih fungsi lahan yang masif demi pariwisata telah memangkas hampir 20% daerah resapan air (Suryawan et al., 2021). Akibatnya, setiap tetes hujan yang dahulu diserap hutan kini berlari tanpa kendali menuju pemukiman. Sanitasi yang rapuh memperburuk keadaan: saluran tersumbat oleh plastik, air kotor bercampur dengan limbah domestik, dan akhirnya menjadi wadah bagi patogen.

Dampaknya pun nyata: Kementerian Kesehatan RI (2023) melaporkan bahwa pasca-banjir di Denpasar dan Gianyar, kejadian diare meningkat 32%, penyakit kulit 27%, dan ancaman leptospirosis kian mengintai. Maka banjir bukan sekadar air yang menggenang, tetapi juga cermin retaknya hubungan manusia dengan alam serta gagalnya sanitasi dalam menjaga harkat kesehatan di masyarakat.

Namun, menyalahkan semata tidaklah arif. Pemerintah telah berusaha membangun infrastruktur drainase, menyediakan TPS 3R, hingga mendorong pengurangan plastik sekali pakai. Tetapi fragmentasi kebijakan seringkali membuat langkah-langkah tersebut berjalan sendiri-sendiri, tanpa jembatan yang kokoh menghubungkan tata ruang, kesehatan, pariwisata, dan lingkungan. Di sinilah kita belajar, bahwa pembangunan tanpa integrasi hanya akan melahirkan paradoks: kemajuan di satu sisi, kerentanan di sisi lain.

Pemerintah sejatinya telah menorehkan langkah penting, antara lain melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang pembatasan plastik sekali pakai, serta pembangunan TPS 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di berbagai wilayah. Kebijakan ini ibarat pelita kecil yang berusaha menyingkap gulita, sebuah niat baik yang patut diapresiasi. Namun, perjalanan menuju keberhasilan masih terjal; di lapangan, upaya tersebut kerap tertahan oleh simpul birokrasi yang berlapis dan kesadaran kolektif yang belum sepenuhnya berakar. Sebab, kebijakan tanpa partisipasi masyarakat hanyalah naskah yang kaku dan tak bernyawa, sementara kesadaran tanpa dukungan sistemik tak lebih dari bunga wacana yang mekar sesaat lalu gugur sebelum berbuah.

Di sinilah kita sejenak perlu menundukkan hati, menengok kembali kearifan lokal Bali yang abadi: Tri Hita Karana. Sebuah filsafat hidup yang menautkan harmoni dengan Sang Pencipta (parhyangan), meneguhkan kasih di antara sesama manusia (pawongan), dan merawat keseimbangan dengan alam (palemahan). Dalam kebijaksanaan lokal ini tersimpan tawaran solusi yang tak lekang oleh waktu. Apabila prinsip tersebut sungguh diintegrasikan ke dalam kebijakan  tata kelola lingkungan dan pembangunan, maka ruang resapan tidak lagi rela dikorbankan hanya demi gemerlap vila, sampah tidak lagi direduksi menjadi sekadar urusan teknis, dan air kembali dihormati sebagai sahabat kehidupan, bukan ditakuti sebagai ancaman bencana. Dengan demikian, setiap kebijakan pariwisata akan belajar menimbang daya dukung ekologis; setiap rencana kota akan memberi ruang bagi tanah untuk bernapas dan air untuk meresap; dan setiap program sanitasi akan dimaknai bukan semata-mata teknis, melainkan sebagai ikhtiar menjaga kesucian hidup, sebuah persembahan bagi generasi kini dan mendatang

Sejatinya, banjir Bali adalah pesan alam yang berbahasa simbol: air yang meluap bukan hanya mengisi jalan, tetapi juga hendak mengisi kesadaran kita. Ia mengetuk pintu hati agar manusia berhenti memperlakukan bumi sebagai objek eksploitasi, dan mulai menjadikannya sahabat yang perlu dijaga. ketika Bali terendam, seharusnya hati kita pun ikut tergetar. Sebab hanya hati yang tergetar yang mampu melahirkan kesadaran ekologis, keberanian untuk berbenah, dan kebijakan yang lebih arif. Dari Bali kita belajar, menemukan pelajaran yang tak ternilai: bahwa menjaga alam bukanlah pilihan, melainkan syarat bagi keberlangsungan hidup; dan hanya peradaban yang setia pada harmoni yang akan dikenang sebagai peradaban yang matang. Sebab, kualitas relasi manusia dengan alam adalah cermin dari kualitas peradaban itu sendiri.

*) Guru Besar Kesehatan Lingkungan UIN Jakarta/Ketua Umum PP HAKLI (himpunan ahli Kesehatan lingkungan Indonesia)/Ketua Komite Ahli PMKL (penanganan masalah Kesehatan lingkungan) Kementerian Kesehatan.

Daftar Pustaka
  • Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2023). Data Kejadian Bencana Indonesia. Jakarta: BNPB.
  • Dinas Lingkungan Hidup Bali. (2022). Laporan Pengelolaan Sampah Provinsi Bali 2022. Denpasar: DLH Bali.
  • Kementerian Kesehatan RI. (2023). Profil Kesehatan Indonesia 2023. Jakarta: Kemenkes RI.
  • Suryawan, I. M., Putra, G. A., & Purnawati, K. (2021). Land-use change and its impact on water catchment in Bali. Environmental Management and Sustainability Journal, 10(2), 145–159.
  • Pemerintah Provinsi Bali. (2018). Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Denpasar: Pemprov Bali
Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *