Drama tambang nikel di kabupaten Raja Ampat ala pemerintah Pusat yang dimotori oleh aksi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia dan viral sekitar 3 bulan lalu. Kini seolah tenggelam ditelan bumi.
Salah satu pengusaha lokal pariwisata di Raja Ampat, Muhammad Jabir Soltief mengatakan, aksi Bahlil Lahadalia yang pura-pura kaget dengan aktivitas tambang nikel yang katanya tidak mengancam keindahan alam di Raja Ampat tersebut kini sangat berdampak bagi sektor pariwisata di Raja Ampat.
Lantaran tidak adanya ketegasan, dan kepastian hukum akan keberadaan investasi baik sektor tambang, dan sangat merugikan pengelola pariwisata. Akibatnya yang dirasakan oleh industri pariwisata di Raja Ampat menurunnya jumlah kunjungan wisatawan.
“Sebelum viralnya aktivitas 4 perusahaan tambang nikel di Raja Ampat hingga berujung pencabutan 4 Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Presiden, kita bisa lihat begitu banyak wisatawan asing di sepanjang jalan protokol dan di bandara DEO di kota Sorong. Namun saat ini hampir jarang terlihat. Ini menjadi gambaran menurunnya pemasukan usaha pariwisata,” kata Jabir Soltief, Jumat (12/9/2025).
Situasi ini tentu saja lanjut Jabir Soltief, menjadi fenomena dilematis yang dialami oleh masyarakat kabupaten Raja Ampat di sekitar kawasan wisata. “Bukan hanya usaha pariwisata di Waigeo yang merasakan dampak, kami di Misool pun yang memiliki banyak spot pariwisata ikut pula terkena imbasnya,” ungkap Jabir Soltief.
Kondisi ini bila terus dibiarkan, Jabir Soltief khawatir masyarakat di sekitar kawasan wisata Raja Ampat yang sekian puluh tahun belum merasakan dampak dari pariwisata, apatis dan pesimis semakin kuat dan tidak lagi menaruh harapan pada sektor pariwisata,” kata Jabir Soltief.
Lanjut Jabir Soltief mengatakan, lantaran tak punya income lain, pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya akhirnya tak bisa secara optimal meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga keuangan daerah menjadi semakin minim. Padahal, pemerintah daerah kabupaten Raja Ampat tentu sangat tahu pasti, bahwa kontribusi PAD dari sektor Pariwisata di Raja Ampat hanya 5 sampai 10 persen saja dari total pendapatan daerah. Misal sektor pertambangan dan penggalian, kata Jabir Soltief, justru memberi kontribusi yang sangat signifikan hingga mencapai 30 bahkan hampir 40 persen dari Pendapatan Daerah kabupaten Raja Ampat.
“Kalau melihat pemberitaan yang digelorakan akibat drama ketidak tegasan dan lempar batu sembunyi tangan disebutkan, sekitar 150 miliar PAD dari pariwisata terancam hilang. Namun kampanye tersebut tidak menyebutkan bahwa kontribusi tambang terhadap PAD yang hilang berapa besar. Padahal kita tahu, sektor tambang memberi kontribusi terhadap keuangan dan kemandirian kabupaten Raja Ampat mencapai 30 hingga 40 persen, sedangkan pariwisata hanya 5 sampai 10 persen saja,” ucap Jabir Soltief.
Dengan menguatnya kampanye kerusakan alam Raja Ampat yang viral akibat gaya lempar bola sembunyi tangan itu menurut Jabir Soltief, malah makin membuat sektor pariwisata di Raja Ampat semakin terpuruk. Akibatnya, gangguan keamanan dan ketidaknyamanan yang dialami oleh turis saat berwisata dan diusir warga menjadi salah satu penyebab menurunnya kunjungan wisatawan.
“Kita buka-bukaan saja, saat ini bupati Raja Ampat, Orideko Burdam bersama bupati Sorong, Bupati Sorong Selatan, Bupati Tambrauw, Bupati Maybrat dan Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu tak berdaya melihat posisi postur keuangan daerah dan desakan sosial masyarakat kita di 5 kabupaten dan 1 kota, akibat penolakan investasi yang sedang bergelora dan menggebu – gebu itu,” kata Jabir Soltief memaparkan.
Akibatnya efek samping yang terjadi adalah, daya beli masyarakat menurun, bantuan sosial berkurang, lapangan kerja semakin sempit, dan masyarakat terus berteriak minta perhatian layanan publik yang tidak berjalan optimal.
Investasi Tanpa Kepastian
Investasi yang menjadi harapan bisa membuat kemandirian ekonomi daerah yang baru berusia muda malah semakin tak punya kepastian. “Saya sangat yakin, Bupati Raja Ampat dan Gubernur Papua Barat Daya sedang pusing tujuh keliling. Mau lihat kesulitan masyarakat, tapi begitu melihat kas daerah, keuangan yang tersedia menipis, tanpa pemasukan,” Jabir Soltief memaparkan.
Modal besar menjadi bayang-bayang hanya menggantung di awan-awan saja. Sebab investor memilih untuk menahan modal, karena tidak ada kepastian. Sementara masyarakat terutama masyarakat adat menuntut pemerintah daerah untuk melakukan pemberdayaan. Namun posisi pemasukan buat kas daerah minim.
Lempar Batu Sembunyi Tangan
Soal kenapa Jabir Soltief menyebut istilah lempar batu sembunyi tangan, kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan secara regulasi kewenangan ada di pemerintah pusat, tidak ada lagi di Pemerintah kabupaten dan Pemerintah Provinsi.
Jabir Soltief katakan dalam artikel yang diterbitkan oleh salah satu media menyebutkan, ada data Georima ESDM pada 2022 tentang potensi sumber daya bijih nikel di Raja Ampat yang disebut mencapai 482 juta ton dan potensi cadangan bijih nikel 86 juta ton.
“Dari sini saja, sudah jelas, dan tidak mungkin izin yang terbit tahun 2013 masih dipertahankan. Kan ada istilah lain koki lain masakan. Ini pun berlaku di dunia investasi, ganti menteri, maka ganti aturan, dan diikuti dengan penyesuain,” sebut Jabir Soltief.
Drama Tambang Nikel di Raja Ampat yang Viral 3 Bulan Lalu
Akibat dari desakan pemerhati lingkungan dan untuk memastikan kondisi alam kabupaten Raja Ampat tidak rusak akibat aktivitas tambang, Bahlil Lahadalia menghentikan sementara aktivitas dari Anak Perusahaan BUMN PT Aneka Tambang yakni PT Gag Nikel. Lalu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun datang ke Raja Ampat. Dia tiba di Bandara DEO, Sorong, Papua Barat Daya, Sabtu (7/6/25) dan disambut puluhan warga menunggu dan protes.
Namun Menteri ESDM tidak datang ke Perusahaan Tambang Nikel yang dikeluhkan oleh masyarakat Raja Ampat pada saat demo. Malah dirinya datang ke lokasi PT Gag Nikel. Lalu bilang semua baik-baik saja. Dari sinilah drama ketidakpastian akan investasi di mulai. Sebab ketika gambar dan video ini muncul dari pulau-pulau yang sudah pemerintah keluarkan izin tambang nikel ini, seolah pemerintah kaget. Demo penolakan dan pro aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat menggelora.
Para menteri pun terkesan merespon cepat. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), mengatakan sudah melakukan pengawasan terhadap empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, itu pada tanggal 26-31 Mei 2025. Bahkan sampai dilakukan penggeledahan di kantor Bupati Raja Ampat, namun sampai detik ini tak terdengar lanjutannya. Hingga akhirnya, Presiden RI Prabowo Subianto setelah melakukan Rapat Terbatas, memutuskan mencabut IUP Empat perusahan yang dikeluhkan masyarakat Raja Ampat yakni PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dan PT Nurham.
Diketahui, dari keempat perusahaan ini, satu perusahaan tidak mengantongi persetujuan penggunaan kawasan hutan yakni PT MRP di Pulau Batang Pele. Sedangkan ASP, perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) asal Tiongkok, beroperasi di Pulau Manuran sekitar 746 hektar tanpa sistem manajemen lingkungan dan pengelolaan air limbah.
Keempat perusahaan yang dicabut IUPnya yakni, Pertama PT Mulia Raymond Perkasa (MRP). Perusahaan ini merupakan pemegang IUP dari SK Bupati Raja Ampat Nomor 153.A Tahun 2013 yang berlaku selama 20 tahun hingga 26 Februari 2033 dan mencakup wilayah 2.193 Hektar di Pulau Batang Pele. Kegiatan masih tahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
Yang kedua, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)PT KSM memiliki IUP dengan dasar hukum SK Bupati No. 290 Tahun 2013, yang berlaku hingga 2033 dengan wilayah seluas 5.922 Ha. Untuk penggunaan kawasan. Dimana perusahaan PT KSM memegang IPPKH berdasarkan Keputusan Menteri LHK tahun 2022. Kegiatan produksi dilakukan sejak 2023.
Lalu yang ketiga, PT Anugerah Surya Pratama (ASP). Perusahaan ini memiliki IUP Operasi Produksi berdasarkan SK Menteri ESDM No. 91201051135050013 yang diterbitkan pada 7 Januari 2024 dan berlaku hingga 7 Januari 2034 di Pulau Manuran. PT ASP telah memiliki dokumen AMDAL pada tahun 2006 dan UKL- UPL di tahun yang sama dari Bupati Raja Ampat. Dan terakhir, PT Nurham yang memegang IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat No. 8/1/IUP/PMDN/2025. PT Nurham memiliki izin hingga tahun 2033 dengan wilayah seluas 3.000 hektar di Pulau Waigeo